Rabu, 30 Maret 2011

Sejarah Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


         Di Indonesia, kekuasaan kehakiman, sejak awal kemerdekaan juga diniatkan sebagai cabang kekuasaan yang terpisah dari lembaga-lembaga politik seperti MPR/DPR dan Presiden. Namun demikian, sejarah juga mencatat terjadinya berbagai penyimpangan dan pasang surut perjalanan kekuasaan kehakiman di Indonesia dari waktu ke waktu, baik yang bersifat administratif  maupun yang bersifat teknis yustisi. Sejarah lahirnya kekuasaan kehakiman yang merdeka pernah dikesampingkan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, di mana dalam Pasal 19 UU tersebut ditentukan bahwa”demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut campur dalam soal-soal pengadilan. Adanya penyelewengan dan intervensi kekuasaan lain pada institusi kekuasaan kehakiman yang telah terjadi tersebut baik disadari maupun tidak telah mengakibatkan pelumpuhan secara sistemik atas kekuasaan kehakiman di Indonesia. Hal ini pada akhirnya akan sangat berpengaruh pada terganggunya sistem peradilan secara keseluruhan dan semuanya itu merupakan penyebab kerusakan terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bertanggungjawab.

      Pada perkembangan berikutnya, muncul usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka dengan dimulai dari terbitnya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Namun, sebenarnya dapat dikatakan pada masa berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 ini lembaga peradilan masih belum independen sepenuhnya, karena menurut Pasal 11 UU tersebut, 4 (empat) lingkungan peradilan yang terdiri dari peradilan umum, peradilan, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, secara organisatoris administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan masih ada campur tangan dari pihak eksekutif. Namun demikian, perihal independensi,  melalui perubahan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut telah ditetapkan  bahwa segala urusan mengenai  peradilan baik yang menyangkut  teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi dan finansial berada satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini dengan istilah populer biasa disebut “kebijakan satu atap”.

            Kemudian terbit lagi UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut kedua UU Kekuasaan Kehakiman sebelumnya. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 ini, proses peralihan (kebijakan satu atap) itu dipertegas lagi dalam Ketentuan Peralihan Pasal 42 UU tersebut bahwa pengalihan organisasi, administrasi dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata
usaha negara dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004. Untuk peradilan agama dan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004. Saat ini, UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sudah mengalami pergantian lagi melalui UU No. 48 Tahun 2009 dengan judul sama.

3 komentar: