Rabu, 30 Maret 2011

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dasar Hukum dan Sejarah Mahkamah Agung


Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara.  Pada zaman penjajahan Belanda, MA disebut Hooggerechtshof yang merupakan pengadilan tertinggi di Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, yang merupakan badan kehakiman tertinggi disebut Saikoo Hooin. Badan ini kemudian dihapus dan kewenangannya diserahkan kepada  Kooto Hooin (pengadilan Tinggi). Setelah Indonesia merdeka, MA selalu eksis dalam sistem Konstitusi RI, baik dalam UUD 1945 naskah asli (pra perubahan), Konstitusi RIS, UUDS hingga UUD 1945 pasca perubahan.

Eksistensi MA dalam UUD Tahun 1945 (naskah asli) diatur dalam Pasal 24. Sebagai pelaksanaan pasal tersebut dibentuklah MA pada tahun 1947 melalui UU No. 7 Tahun 1947. Namun, tempat kedudukannya (yaitu di Jakarta), sudah lebih dulu ditentukan melalui Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946. Melalui perubahan UUD 1945, kewenangan MA lebih dipertegas dalam konstitusi. Saat ini, pengaturan MA terdapat di dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24 dan Pasal 24 A. Kemudian dijabarkan  lebih lanjut dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU No. 3 Tahun 2009.

Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman


Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, tunduk pada asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara yuridis, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Struktur Mahkamah Agung


Susunan MA terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera dan seorang Sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah berstatus sebagai Hakim Agung. Adapun jumlah hakim agung paling banyak 60 orang.

Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang Ketua, 2 (dua) Wakil Ketua dan 9 (sembilan) Ketua Muda.
Wakil Ketua Bidang Yudisial membawahi:
1.         Ketua Muda Perdata Umum
2.         Ketua Muda Perdata Khusus
3.         Ketua Muda Pidana Umum
4.         Ketua Muda Pidana Khusus
5.         Ketua Muda Agama
6.         Ketua Muda Militer
7.         Ketua Muda Tata Usaha Negara
Sedangkan Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial membawahi:
8.         Ketua Muda Pembinaan
9.         Ketua Muda Pengawasan. 

Dasar Hukum dan Sejarah Mahkamah Agung


Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara.  Pada zaman penjajahan Belanda, MA disebut Hooggerechtshof yang merupakan pengadilan tertinggi di Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, yang merupakan badan kehakiman tertinggi disebut Saikoo Hooin. Badan ini kemudian dihapus dan kewenangannya diserahkan kepada  Kooto Hooin (pengadilan Tinggi). Setelah Indonesia merdeka, MA selalu eksis dalam sistem Konstitusi RI, baik dalam UUD 1945 naskah asli (pra perubahan), Konstitusi RIS, UUDS hingga UUD 1945 pasca perubahan.

Eksistensi MA dalam UUD Tahun 1945 (naskah asli) diatur dalam Pasal 24. Sebagai pelaksanaan pasal tersebut dibentuklah MA pada tahun 1947 melalui UU No. 7 Tahun 1947. Namun, tempat kedudukannya (yaitu di Jakarta), sudah lebih dulu ditentukan melalui Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946. Melalui perubahan UUD 1945, kewenangan MA lebih dipertegas dalam konstitusi. Saat ini, pengaturan MA terdapat di dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24 dan Pasal 24 A. Kemudian dijabarkan  lebih lanjut dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU No. 3 Tahun 2009.

Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman


Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, tunduk pada asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara yuridis, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kebijakan Satu Atap di bawah Mahkamah Agung


Setelah keluarnya UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka segala urusan yang terkait dengan organisasi, administrasi dan finansial keempat lingkungan peradilan, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan MA. Hal ini dikenal dengan sebutan kebijakan “peradilan satu atap”.  Dalam rangka itu, MA melakukan pengawasan internal terhadap lingkungan peradilan bawahannya. Sedangkan  pengawasan eksternal terhadap hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pengawasan internal yang dilakukan oleh MA terhadap lingkungan peradilan bawahannya dilakukan dalam batas-batas tertentu, artinya tidak boleh sampai mempengaruhi kemandirian hakim dalam menyelesaikan perkara. Demikian pula halnya dengan pengawasan oleh Komisi Yudisial.

Hubungan Mahkamah Agung dengan Lembaga Negara dan Lembaga Lainnya


Berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 hasil amandemen/perubahan, banyak lembaga-lembaga baru yang dibentuk dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Hal ini mengakibatkan beberapa implikasi terhadap struktur ketatanegaraan dan hubungan antar lembaga negara. Dewasa ini juga terdapat perkembangan baru mengenai hubungan MA dengan lembaga negara lain yang sebelum perubahan UUD 1945 pola hubungan tersebut tidak dikenal.

Seperti misalnya, dalam hubungannya dengan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MA memilih 3 orang calon Hakim Konstitusi. Masih dalam kaitan dengan hubungan antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.   Walaupun termasuk kategori lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, namun berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ditentukan bahwa MA dan MK tidak dapat bersengketa dengan lembaga negara lainnya.

Sebagaimana juga dinyatakan dalam UUD 1945 setelah perubahan, bahwa calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial dan tingkah laku hakim diawasi oleh Komisi Yudisial (pengawasan eksternal). Walaupun KY bukanlah lembaga negara yang memiliki kewenangan yudisial (bukan lembaga yudikatif), namun penyebutan lembaga tersebut membawa implikasi besar terhadap tatanan struktur ketatanegaraan. Sebagian kalangan menganggap KY merupakan lembaga yudikatif yang melakukan kekuasaan kehakiman karena disebutkan dalam BAB mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 setelah perubahan. Padahal dalam Pasal 24 UUD 1945 dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No.14 Tahun 1970 jelas dinyatakan bahwa pelaku kekuasaan kehakiman adalah MA dan MK. Walaupun demikian dengan kewenangan pengawasan eksternal bagi hakim, diharapkan KY dapat meningkatkan kinerja hakim, tanpa harus menjadi pelaku kekuasaan kehakiman dan melakukan kewenangan kekuasaan kehakiman.

Dalam hubungannya dengan Presiden, MA memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam pemberian grasi dan rehabilitasi. MA juga memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Presiden dan lembaga negara dan lembaga pemerintahan lainnya.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, MA juga kerap bersinggungan (memiliki hubungan) dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti :
1.      Komisi Ombudsman Nasional;
2.      Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
3.      Badan Arbitrase Nasional Indonesia;
4.      Badan Pertimbangan Kepegawaian (khusus dengan lingkungan peradilan tata usaha negara);
5.      Badan Syariah Nasional (khusus dengan lingkungan peradilan agama);
6.      dan lain-lain.


Pelaku Kekuasaan Kehakiman


Menurut Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Pasal 18 UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Jadi ada dua pelaku kekuasaan kehakiman yang kedudukannya setara yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Kewenangan MA dituangkan dalam Pasal 24 A UUD yang menentukan Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Kewenangan lainnya diantaranya memeriksa peninjauan kembali, melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dan sebagainya. Sedangkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dituangkan dalam Pasal 24 C ayat (1) UUD Tahun 1945, yang menentukan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Ayat (2) Pasal yang sama menentukan, MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Susunan MA secara garis besar  meliputi Pimpinan yang terdiri dari 1 Ketua, 2 Wakil Ketua dan beberapa  Ketua Muda. Kemudian, MA dilengkapi juga oleh Kesekretariatan dan Kepaniteraan. Sedangkan susunan MK terdiri dari 1 Ketua, 1 Wakil Ketua dan 7 Hakim Konstitusi dengan ketentuan, Ketua dan Wakil Ketua merangkap sebagai hakim konstitusi. Kemudian MK dilengkapi pula dengan Kesekretariatan dan Kepaniteraan.

Tantangan dan Permasalahan Yang Dihadapi Lembaga Yudikatif


Lembaga yudikatif menurut UUD 1945 setelah perubahan adalah sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 24 ayat (1) yaitu kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Dalam hal menjalankan fungsi yudisial, Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk : 1) mengadili pada tingkat kasasi dan 2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Selain itu Mahkamah Agung juga memiliki wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang, antara lain : 1) fungsi konsultasi yaitu memberikan pertimbangan hukum kepada pemerintah terkait pemberian grasi dan rehabilitasi, 2) fungsi pembinaan yaitu melakukan pembinaan secara internal kelembagaan dan khususnya kepada hakim-hakim yang ada pada badan peradilan di bawahnya, 3) fungsi pengawasan, yaitu melakukan pengawasan kepada penasihat hukum dan notaris, 4) fungsi legislasi yaitu dapat menetapkan peraturan yang menyangkut hukum acara.

Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk : 1) mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, 2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, 3) memutus pembubaran partai politik, dan 4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta 5) memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwaklian Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar.

Setidaknya ada tiga hal yang sering menjadi sorotan masyarakat terhadap lembaga yudikatif khususnya Mahkamah Agung, yakni 1) penumpukan perkara di MA, 2) putusan yang dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, 3) isu percaloan dan penyuapan di lingkungan MA (mafia hukum). Semua hal tersebut, membuat rasa kepercayaan masyarakat terhadap MA menjadi berkurang bahkan nyaris hilang. Padahal selama ini MA diharapkan dapat menjadi pemberi solusi terakhir dan terbaik bagi para pencari keadilan dalam memperoleh kepastian hukum.

Permasalahan klasik lainnya, yang juga sering diidap oleh suatu organisasi adalah permasalahan dari segi internal dan eksternal.
a.       Secara internal, permasalahan sumber daya manusia dan sistem manajemen masih menjadi momok bagi MA yakni antara lain :
1.    Proses rekrutmen yang dinilai kurang dapat menjaring calon hakim berkualitas;
2.    Minimnya evaluasi terhadap hakim-hakim di berbagai tingkatan;
3.    Belum maksimalnya program reward and punishment;
4.    Alat kelengkapan pendukung yang dinilai masih belum dapat memberikan dukungan layanan yang maksimal kepada hakim. Terlebih lagi sejak diberlakukannya aturan “satu atap”, masih banyak hal-hal yang perlu dibenahi dan disesuaikan.
b.      Sedangkan dari segi eksternal, permasalahan yang sering menghinggapi lembaga peradilan adalah :
1.    Perilaku masyarakat para pencari keadilan yang sering diwakili oleh para advokat. Seringkali sikap dan perilaku advokat, baik di dalam maupun di luar persidangan yang dapat mempengaruhi keputusan dan independensi hakim.
2.    Perilaku masyarakat pada umumnya yang tidak menghormati lembaga peradilan sehingga sering berperilaku yang menjurus pada arah contemp of Court. Hal ini berakibat buruk pada wibawa hakim dan lembaga peradilan.

Berbagai solusi telah dilontarkan para ahli, antara lain mengenai permasalahan penumpukan perkara harus cepat diselesaikan karena hal ini merupakan beban Mahkamah Agung yang sepertinya tidak pernah berkurang dari tahun ke tahun. Mahkamah Agung perlu melakukan penyaringan (dismissal procedure) yang ketat untuk tiap-tiap kasus yang masuk dalam tingkat kasasi maupun tingkat peninjauan kembali di Mahkamah Agung. Bahkan penyaringan ataupun pembatasan dapat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Hal selanjutnya yang perlu dibenahi adalah konsistensi putusan, sehingga dapat menghilangkan adanya putusan mahkamah yang berbeda-beda atau bahkan bertentangan untuk perkara yang sama. Hal ini tentu dapat dibenahi dengan pemberdayaan sumber daya manusia yang memadai, termasuk optimalisasi rekrutmen calon hakim yang berkualitas.

Pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya hakim baik di tingkat pertama maupun banding, dapat dilakukan dengan evaluasi hakim. Setidaknya hakim-hakim yang menghendaki kenaikan karier harus lulus evaluasi terkait dengan intelektualitasnya, profesionalisme, serta integritas moral. Berbagai metode dapat diterapkan dalam evaluasi sehingga tujuan pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat tercapai.

Rekrutmen calon hakim yang berkualitas dapat ditempuh dengan berbagai cara, antara lain :
1.      Rekrutmen calon hakim dititikberatkan kepada syarat-syarat keahlian pelamar, tidak hanya sebatas pemenuhan syarat-syarat administrasi. Dengan demikian, harus ada metode baru dalam proses ujian masuk untuk melamar sebagai calon hakim.
2.      Mahkamah Agung memiliki tim untuk mencari bibit-bibit unggul ke perguruan tinggi/fakultas hukum untuk dipersiapkan/diarahkan menjadi calon hakim. Mahasiswa yang berpotensi tersebut dapat diberikan beasiswa dengan timbal balik ikatan dinas.
3.      Mahkamah Agung memiliki lembaga pendidikan sendiri untuk menjaring, mendidik dan mencetak calon-calon hakim berkualitas.

Hal yang terpenting, Mahkamah Agung harus mengambil langkah tegas yang diberlakukan secara internal untuk mengeliminasi jual beli isi putusan. Solusi terhadap jual beli isi putusan adalah terwujudnya prinsip keterbukaan dalam praktek peradilan sehari-hari. Keterbukaan informasi dan manajemen perkara serta putusan dapat mendorong pengawasan yang lebih kuat baik dari internal maupun eksternal. Bila pengawasan telah kuat tentu praktek jual beli putusan, percaloan kasus, ataupun mafia hukum dapat dihilangkan.

Konstitusi Negara Republik Indonesia

                                                                Konstitusi-Konstitusi di Indonesia

               
Konstitusi tertulis yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional hingga 27 Desember 1949.

Akibat Agresi Militer Belanda I dan II pada 1947 dan 1948, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu : 1) mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, 2) penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, 3) didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.

Rancangan Undang-Undang Dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam KMB tersebut yang disetujui pada 14 Desember 1949 yang kemudian mulai berlaku sejak 27 Desember 1949. Sejak itu, negara Republik  Indonesia Serikat resmi berdiri walaupun Republik Indonesia secara hukum tetap ada, namun statusnya berubah menjadi salah satu negara bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat.

Ketika segala permasalahan dengan Belanda diselesaikan, terjadi penggabungan antara berbagai negara bagian di RIS dengan RI sehingga RIS akhirnya hanya terbagi atas tiga negara bagian yaitu RI, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Bahkan akhirnya tercapai kesepakatan antara Pemerintah RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Pemerintah RI untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani pada 19 Mei 1950. Selanjutnya disusun suatu naskah undang-undang dasar yang bersifat sementara yang kemudian disahkan pada 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik Indonesia Serikat pada 14 Agustus 1950. Naskah Undang-Undang Dasar Sementara itu berlaku mulai 27 Agustus 1950.

Akan tetapi, Konstituante mengalami kegagalan dalam menetapkan undang-undang dasar yang sifatnya tetap dalam beberapa kali sidang dan tiga kali pemungutan suara, pada 5 Juli 1959 Presiden mengucapkan dekritnya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden yang biasa dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satunya menyatakan tidak berlaku UUDS 1950 dan kembali kepada UUD 1945.

Pada periode keberlakuan UUD 1945 hasil Dekrit 5 Juli 1959, undang-undang dasar dilaksanakan sesuai tafsir penguasa. Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menafsirkan demokrasi dalam UUD 1945 sebagai Demokrasi Terpimpin sehingga dalam prakteknya Presiden banyak mengatur hal-hal yang di luar kewenangannya. Sulit untuk melihat adanya praktek pemisahan kekuasaan antar lembaga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Sedangkan bagi Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, demokrasi dalam UUD 1945 ditafsirkan sebagai Demokrasi Pancasila yang selalu berniat untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Walaupun demikian, kekuasaan pemerintah pusat yang sangat kuat karena ditopang oleh kekuatan politik dan militer justru hanya menghadirkan demokrasi yang bersifat prosedural. Segala sesuatunya ditentukan oleh Presiden, walaupun tetap memerlukan pengesahan oleh lembaga yang berwenang.

Akibat kekuasaan Pemerintahan Orde Baru yang dianggap melenceng dari pakem undang-undang dasar, kondisi politik dalam negeri mulai bergejolak memasuki dekade 1990an. Puncaknya adalah pada tahun 1998, yang dikenal dengan era reformasi, ditandai dengan peristiwa ketatanegaraan yang besar yakni berhentinya Presiden Soeharto dan dilanjutkan dengan proses perubahan (amandemen) undang-undang dasar sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999 sampai 2002.

 

Teori Konstitusi

  
Konstitusi merupakan hukum dasar, dapat berupa undang-undang dasar tertulis maupun undang-undang dasar yang tidak tertulis, misalnya konvensi kenegaraan. Contoh negara yang memiliki undang-undang dasar tertulis adalah Amerika Serikat, Cina dan Indonesia, sedangkan Inggris tidak memiliki undang-undang dasar tertulis.
Undang-undang dasar tertulis harus memperlihatkan nilai-nilai filosofis, sosiologis dan politik yang menjadi latar belakang pembentukannya sehingga dapat berlaku efektif bagi suatu bangsa sebagai sebuah kontrak sosial.

Pada pokoknya, sebuah konstitusi/undang-undang dasar tertulis memiliki materi muatan mengenai : 1) bentuk negara dan bentuk pemerintahan yang mencerminkan ideologi kenegaraan (nilai-nilai filosofis), 2) pemisahan kekuasaan antar lembaga negara serta kewenangannya (nilai-nilai politis), 3) hak-hak dan kewajiban asasi warga negara serta jaminan terhadap budaya lokal (nilai-nilai kemanusiaan/sosiologis), 4) serta prosedur perubahan. Setiap negara memiliki varian-variannya tersendiri dalam mengatur materi muatan undang-undang dasarnya.

Suatu konstitusi akan dianggap ideal apabila dapat memenuhi beberapa kriteria.
a.       Harus tegas dan jelas, sehingga dapat mencegah timbulnya persengketaan atas timbulnya multitafsir atas suatu konstitusi.
b.      Harus komprehensif, yaitu mencakup seluruh bidang kenegaraan. Namun bukan berarti konstitusi tersebut harus mendetail dengan mengatur hal-hal yang bersifat administratif.
c.       Harus dapat diubah atau di-amandemen secara konstitusional tanpa melalui proses yang sulit.
d.      Harus stabil dan fleksibel, dalam arti dapat mengakomodir perkembangan zaman.
e.       Harus memenuhi nilai-nilai ideal, harapan dan aspirasi rakyat.

Konsep Trias Politika, Pemisahan Kekuasaan, dan Pembagian Kekuasaan


John Locke (Inggris) berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh karena itu Locke menelurkan pemikiran pembedaan kekuasaan negara dalam 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislatif (membuat peraturan), fungsi eksekutif (melaksanakan peraturan), dan fungsi federatif (menjaga keamanan negara). Atas dasar pemikiran tersebut, Baron de Montesquieu (Perancis) mengembangkan teori trias politica yang memisahkan kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan (separation of power) yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif (kekuasaan untuk menghakimi).

Sepintas, pemikiran dua ahli tersebut sama yaitu mengenai kekuasaan legislatif dan eksekutif. Akan tetapi, titik berat dari konsep trias politica-nya Montesqiueu adalah kekuasaan kehakiman untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkan pendapat Locke titik beratnya adalah fungsi federatif dalam hubungan antar negara (jaminan keamanan negara). Van Vollenhoven (Belanda) membagi kekuasaan negara dalam 4 (empat fungsi) yaitu pengaturan (regelling) yang identik dengan fungsi legislatif, pemerintahan (bestuur) yang identik dengan fungsi eksekutif, peradilan (rechstpraak) yang identik dengan fungsi yudisial, dan pengawasan (politie) yang mirip dengan fungsi federatif untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Dalam perkembangannya, konsep pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak realistis sehingga tidak ada satu negara pun di dunia yang betul-betul mencerminkan ide pemisahakan kekuasaan tersebut. Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli menggunakan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Walaupun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama saja, dapat dipakai sesuai konteksnya. Sebagai contoh, Amerika Serikat menganut kedua istilah separation of powers dan distribution of powers. Istilah distribution (division) of powers digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dengan negara bagian. Sedangkan istilah separation of powers digunakan dalam konteks pemisahan kekuasaan tingkat pemerintah federal yaitu antara legislatif (Senate & House of Representative), eksekutif (Administrarion) dan yudikatif (Supreme Court). Konsep demikian merupakan hasil pemikiran Arthur Mass yang membedakan pengertian pembagian kekuasaan ke dalam dua pengertian, yaitu 1) capital division of power yang bisa diartikan sebagai pembagian kekuasaan lembaga negara, dan 2) territorial division of power yang bisa diartikan sebagai pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.

Penerapan Pemisahan Kekuasaan Dalam Konstitusi


Pada awalnya, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia diklaim tidak menganut pemisahan kekuasaan menurut Montesqiueu melainkan pembagian kekuasaan, sebagaimana diutarakan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tahun 1945. Pada waktu itu Soepomo menolak ide Muhammad Yamin yang ingin mengadopsi sistem pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Berdasarkan UUD 1945 yang diberlakukan pada 18 Agustus 1945, kekuasaan negara dibagi di antara lembaga-lembaga negara, antara lain yaitu:
1.    Kekuasaan tertinggi berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, yang salah satu kewenangannya adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden.
2.   Kekuasaan membentuk undang-undang ada pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
3.      Kekuasaan eksaminasi anggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
4.   Kekuasaan pemerintahan negara dijalankan oleh Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri.
5.      Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Selanjutnya ketika keberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada 1949, tetap ada pengaturan mengenai pemisahan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Pada pokoknya Konstitusi Republik Indonesia Serikat mengatur mengenai:
1.      Bentuk negara serikat, serta kedaulatan ada pada Raja/Ratu Belanda.
2.      Banyak mengatur perihal hak-hak dasar manusia.
3.      Adanya pemisahan kekuasaan antar lembaga negara, yaitu a) kekuasaan eksekutif (presiden dan perdana menteri), b) kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), c) kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung Indonesia). Selain itu juga ada lembaga eksaminasi anggaran negara yaitu Dewan Pengawas Keuangan.

Sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal:
1.      Bentuk negara kesatuan, menghapus bentuk negara serikat, negara hukum yang demokratis.
2.      Kedaulatan ada pada rakyat Indonesia yang dilakukan secara bersama oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
3.     Banyak mengatur perihal hak-hak dasar manusia, seperti halnya dalam Konstitusi RIS 1949.
4.   Adanya pemisahan kekuasaan antar lembaga negara, yaitu a) kekuasaan eksekutif (presiden dan perdana menteri), b) kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), c) kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung), serta tetap ada lembaga eksaminasi anggaran negara yaitu Dewan Pengawas Keuangan.
5.     Pemerintah daerah dan daerah-daerah swapraja sebagai bentuk territorial division of power.
6.    Lembaga Konstituante yang bertugas untuk merancang dan kemudian menetapkan undang-undang dasar yang sifatnya tetap.


Konstitusi tertulis yang berlaku saat ini, yaitu UUD 1945 hasil amandemen/perubahan, sering dinyatakan sebagai konstitusi yang menganut doktrin pemisahan kekuasaan walaupun tidak lagi murni menurut konsep trias politica ketika pertama kali dikemukakan oleh Montsqiueu. Hal ini dapat ditunjukkan dari ciri-ciri:
1. MPR tidak lagi dinyatakan sebagai lembaga tertinggi dan lembaga pemegang kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan). Tiap-tiap lembaga negara yang pengisian jabatannya melalui pemilihan umum dapat dianggap sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat, seperti misalnya pemilihan langsung pasangan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (1)).
2.      Fungsi kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang) kini sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 ayat (1)).
3.   Sebagai salah satu ciri negara hukum, kekuasaan kehakiman diatur sebagai kekuasaan yang merdeka yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24).
4.  Adanya konsep sistem pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman (Pasal 24C UUD 1945 setelah perubahan).
5.    Penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi (Pasal 18) sebagai bentuk territorial division of power.
6.     Setiap lembaga negara memiliki kedudukan yang sejajar, tidak ada lagi yang disebut sebagai lembaga tertinggi negara. Sehingga hubungan antar lembaga negara bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.