Rabu, 30 Maret 2011

Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dasar Hukum dan Sejarah Mahkamah Agung


Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara.  Pada zaman penjajahan Belanda, MA disebut Hooggerechtshof yang merupakan pengadilan tertinggi di Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, yang merupakan badan kehakiman tertinggi disebut Saikoo Hooin. Badan ini kemudian dihapus dan kewenangannya diserahkan kepada  Kooto Hooin (pengadilan Tinggi). Setelah Indonesia merdeka, MA selalu eksis dalam sistem Konstitusi RI, baik dalam UUD 1945 naskah asli (pra perubahan), Konstitusi RIS, UUDS hingga UUD 1945 pasca perubahan.

Eksistensi MA dalam UUD Tahun 1945 (naskah asli) diatur dalam Pasal 24. Sebagai pelaksanaan pasal tersebut dibentuklah MA pada tahun 1947 melalui UU No. 7 Tahun 1947. Namun, tempat kedudukannya (yaitu di Jakarta), sudah lebih dulu ditentukan melalui Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946. Melalui perubahan UUD 1945, kewenangan MA lebih dipertegas dalam konstitusi. Saat ini, pengaturan MA terdapat di dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24 dan Pasal 24 A. Kemudian dijabarkan  lebih lanjut dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU No. 3 Tahun 2009.

Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman


Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, tunduk pada asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara yuridis, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Struktur Mahkamah Agung


Susunan MA terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera dan seorang Sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah berstatus sebagai Hakim Agung. Adapun jumlah hakim agung paling banyak 60 orang.

Pimpinan Mahkamah Agung terdiri atas seorang Ketua, 2 (dua) Wakil Ketua dan 9 (sembilan) Ketua Muda.
Wakil Ketua Bidang Yudisial membawahi:
1.         Ketua Muda Perdata Umum
2.         Ketua Muda Perdata Khusus
3.         Ketua Muda Pidana Umum
4.         Ketua Muda Pidana Khusus
5.         Ketua Muda Agama
6.         Ketua Muda Militer
7.         Ketua Muda Tata Usaha Negara
Sedangkan Wakil Ketua Bidang Non-Yudisial membawahi:
8.         Ketua Muda Pembinaan
9.         Ketua Muda Pengawasan. 

Dasar Hukum dan Sejarah Mahkamah Agung


Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara.  Pada zaman penjajahan Belanda, MA disebut Hooggerechtshof yang merupakan pengadilan tertinggi di Jakarta dengan daerah hukum meliputi seluruh Indonesia. Pada zaman penjajahan Jepang, yang merupakan badan kehakiman tertinggi disebut Saikoo Hooin. Badan ini kemudian dihapus dan kewenangannya diserahkan kepada  Kooto Hooin (pengadilan Tinggi). Setelah Indonesia merdeka, MA selalu eksis dalam sistem Konstitusi RI, baik dalam UUD 1945 naskah asli (pra perubahan), Konstitusi RIS, UUDS hingga UUD 1945 pasca perubahan.

Eksistensi MA dalam UUD Tahun 1945 (naskah asli) diatur dalam Pasal 24. Sebagai pelaksanaan pasal tersebut dibentuklah MA pada tahun 1947 melalui UU No. 7 Tahun 1947. Namun, tempat kedudukannya (yaitu di Jakarta), sudah lebih dulu ditentukan melalui Penetapan Pemerintah No. 9 Tahun 1946. Melalui perubahan UUD 1945, kewenangan MA lebih dipertegas dalam konstitusi. Saat ini, pengaturan MA terdapat di dalam UUD Tahun 1945 Pasal 24 dan Pasal 24 A. Kemudian dijabarkan  lebih lanjut dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir melalui UU No. 3 Tahun 2009.

Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman


Mahkamah Agung sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, tunduk pada asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Secara yuridis, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tersebut tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No.14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kebijakan Satu Atap di bawah Mahkamah Agung


Setelah keluarnya UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka segala urusan yang terkait dengan organisasi, administrasi dan finansial keempat lingkungan peradilan, sepenuhnya berada di bawah kekuasaan MA. Hal ini dikenal dengan sebutan kebijakan “peradilan satu atap”.  Dalam rangka itu, MA melakukan pengawasan internal terhadap lingkungan peradilan bawahannya. Sedangkan  pengawasan eksternal terhadap hakim dilakukan oleh Komisi Yudisial. Pengawasan internal yang dilakukan oleh MA terhadap lingkungan peradilan bawahannya dilakukan dalam batas-batas tertentu, artinya tidak boleh sampai mempengaruhi kemandirian hakim dalam menyelesaikan perkara. Demikian pula halnya dengan pengawasan oleh Komisi Yudisial.

Hubungan Mahkamah Agung dengan Lembaga Negara dan Lembaga Lainnya


Berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 hasil amandemen/perubahan, banyak lembaga-lembaga baru yang dibentuk dan diberikan kewenangan oleh UUD 1945. Hal ini mengakibatkan beberapa implikasi terhadap struktur ketatanegaraan dan hubungan antar lembaga negara. Dewasa ini juga terdapat perkembangan baru mengenai hubungan MA dengan lembaga negara lain yang sebelum perubahan UUD 1945 pola hubungan tersebut tidak dikenal.

Seperti misalnya, dalam hubungannya dengan MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, MA memilih 3 orang calon Hakim Konstitusi. Masih dalam kaitan dengan hubungan antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.   Walaupun termasuk kategori lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, namun berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ditentukan bahwa MA dan MK tidak dapat bersengketa dengan lembaga negara lainnya.

Sebagaimana juga dinyatakan dalam UUD 1945 setelah perubahan, bahwa calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial dan tingkah laku hakim diawasi oleh Komisi Yudisial (pengawasan eksternal). Walaupun KY bukanlah lembaga negara yang memiliki kewenangan yudisial (bukan lembaga yudikatif), namun penyebutan lembaga tersebut membawa implikasi besar terhadap tatanan struktur ketatanegaraan. Sebagian kalangan menganggap KY merupakan lembaga yudikatif yang melakukan kekuasaan kehakiman karena disebutkan dalam BAB mengenai Kekuasaan Kehakiman dalam UUD 1945 setelah perubahan. Padahal dalam Pasal 24 UUD 1945 dan UU No.48 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No.14 Tahun 1970 jelas dinyatakan bahwa pelaku kekuasaan kehakiman adalah MA dan MK. Walaupun demikian dengan kewenangan pengawasan eksternal bagi hakim, diharapkan KY dapat meningkatkan kinerja hakim, tanpa harus menjadi pelaku kekuasaan kehakiman dan melakukan kewenangan kekuasaan kehakiman.

Dalam hubungannya dengan Presiden, MA memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam pemberian grasi dan rehabilitasi. MA juga memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum kepada Presiden dan lembaga negara dan lembaga pemerintahan lainnya.

Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, MA juga kerap bersinggungan (memiliki hubungan) dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti :
1.      Komisi Ombudsman Nasional;
2.      Komisi Pengawas Persaingan Usaha;
3.      Badan Arbitrase Nasional Indonesia;
4.      Badan Pertimbangan Kepegawaian (khusus dengan lingkungan peradilan tata usaha negara);
5.      Badan Syariah Nasional (khusus dengan lingkungan peradilan agama);
6.      dan lain-lain.