Rabu, 30 Maret 2011

Konstitusi Negara Republik Indonesia

                                                                Konstitusi-Konstitusi di Indonesia

               
Konstitusi tertulis yang pertama kali berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945, berlaku secara nasional hingga 27 Desember 1949.

Akibat Agresi Militer Belanda I dan II pada 1947 dan 1948, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda yang menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu : 1) mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, 2) penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, 3) didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda.

Rancangan Undang-Undang Dasar (Konstitusi) Negara Republik Indonesia Serikat juga diputuskan dalam KMB tersebut yang disetujui pada 14 Desember 1949 yang kemudian mulai berlaku sejak 27 Desember 1949. Sejak itu, negara Republik  Indonesia Serikat resmi berdiri walaupun Republik Indonesia secara hukum tetap ada, namun statusnya berubah menjadi salah satu negara bagian dalam Negara Republik Indonesia Serikat.

Ketika segala permasalahan dengan Belanda diselesaikan, terjadi penggabungan antara berbagai negara bagian di RIS dengan RI sehingga RIS akhirnya hanya terbagi atas tiga negara bagian yaitu RI, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur. Bahkan akhirnya tercapai kesepakatan antara Pemerintah RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Pemerintah RI untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam perjanjian yang ditandatangani pada 19 Mei 1950. Selanjutnya disusun suatu naskah undang-undang dasar yang bersifat sementara yang kemudian disahkan pada 12 Agustus 1950 oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat serta Senat Republik Indonesia Serikat pada 14 Agustus 1950. Naskah Undang-Undang Dasar Sementara itu berlaku mulai 27 Agustus 1950.

Akan tetapi, Konstituante mengalami kegagalan dalam menetapkan undang-undang dasar yang sifatnya tetap dalam beberapa kali sidang dan tiga kali pemungutan suara, pada 5 Juli 1959 Presiden mengucapkan dekritnya yang dituangkan dalam Keputusan Presiden yang biasa dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satunya menyatakan tidak berlaku UUDS 1950 dan kembali kepada UUD 1945.

Pada periode keberlakuan UUD 1945 hasil Dekrit 5 Juli 1959, undang-undang dasar dilaksanakan sesuai tafsir penguasa. Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Soekarno menafsirkan demokrasi dalam UUD 1945 sebagai Demokrasi Terpimpin sehingga dalam prakteknya Presiden banyak mengatur hal-hal yang di luar kewenangannya. Sulit untuk melihat adanya praktek pemisahan kekuasaan antar lembaga negara sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Sedangkan bagi Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto, demokrasi dalam UUD 1945 ditafsirkan sebagai Demokrasi Pancasila yang selalu berniat untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Walaupun demikian, kekuasaan pemerintah pusat yang sangat kuat karena ditopang oleh kekuatan politik dan militer justru hanya menghadirkan demokrasi yang bersifat prosedural. Segala sesuatunya ditentukan oleh Presiden, walaupun tetap memerlukan pengesahan oleh lembaga yang berwenang.

Akibat kekuasaan Pemerintahan Orde Baru yang dianggap melenceng dari pakem undang-undang dasar, kondisi politik dalam negeri mulai bergejolak memasuki dekade 1990an. Puncaknya adalah pada tahun 1998, yang dikenal dengan era reformasi, ditandai dengan peristiwa ketatanegaraan yang besar yakni berhentinya Presiden Soeharto dan dilanjutkan dengan proses perubahan (amandemen) undang-undang dasar sebanyak 4 (empat) kali sejak tahun 1999 sampai 2002.

 

Teori Konstitusi

  
Konstitusi merupakan hukum dasar, dapat berupa undang-undang dasar tertulis maupun undang-undang dasar yang tidak tertulis, misalnya konvensi kenegaraan. Contoh negara yang memiliki undang-undang dasar tertulis adalah Amerika Serikat, Cina dan Indonesia, sedangkan Inggris tidak memiliki undang-undang dasar tertulis.
Undang-undang dasar tertulis harus memperlihatkan nilai-nilai filosofis, sosiologis dan politik yang menjadi latar belakang pembentukannya sehingga dapat berlaku efektif bagi suatu bangsa sebagai sebuah kontrak sosial.

Pada pokoknya, sebuah konstitusi/undang-undang dasar tertulis memiliki materi muatan mengenai : 1) bentuk negara dan bentuk pemerintahan yang mencerminkan ideologi kenegaraan (nilai-nilai filosofis), 2) pemisahan kekuasaan antar lembaga negara serta kewenangannya (nilai-nilai politis), 3) hak-hak dan kewajiban asasi warga negara serta jaminan terhadap budaya lokal (nilai-nilai kemanusiaan/sosiologis), 4) serta prosedur perubahan. Setiap negara memiliki varian-variannya tersendiri dalam mengatur materi muatan undang-undang dasarnya.

Suatu konstitusi akan dianggap ideal apabila dapat memenuhi beberapa kriteria.
a.       Harus tegas dan jelas, sehingga dapat mencegah timbulnya persengketaan atas timbulnya multitafsir atas suatu konstitusi.
b.      Harus komprehensif, yaitu mencakup seluruh bidang kenegaraan. Namun bukan berarti konstitusi tersebut harus mendetail dengan mengatur hal-hal yang bersifat administratif.
c.       Harus dapat diubah atau di-amandemen secara konstitusional tanpa melalui proses yang sulit.
d.      Harus stabil dan fleksibel, dalam arti dapat mengakomodir perkembangan zaman.
e.       Harus memenuhi nilai-nilai ideal, harapan dan aspirasi rakyat.

Konsep Trias Politika, Pemisahan Kekuasaan, dan Pembagian Kekuasaan


John Locke (Inggris) berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh karena itu Locke menelurkan pemikiran pembedaan kekuasaan negara dalam 3 (tiga) fungsi yaitu fungsi legislatif (membuat peraturan), fungsi eksekutif (melaksanakan peraturan), dan fungsi federatif (menjaga keamanan negara). Atas dasar pemikiran tersebut, Baron de Montesquieu (Perancis) mengembangkan teori trias politica yang memisahkan kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan (separation of power) yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif (kekuasaan untuk menghakimi).

Sepintas, pemikiran dua ahli tersebut sama yaitu mengenai kekuasaan legislatif dan eksekutif. Akan tetapi, titik berat dari konsep trias politica-nya Montesqiueu adalah kekuasaan kehakiman untuk memberikan jaminan terhadap hak-hak asasi manusia. Sedangkan pendapat Locke titik beratnya adalah fungsi federatif dalam hubungan antar negara (jaminan keamanan negara). Van Vollenhoven (Belanda) membagi kekuasaan negara dalam 4 (empat fungsi) yaitu pengaturan (regelling) yang identik dengan fungsi legislatif, pemerintahan (bestuur) yang identik dengan fungsi eksekutif, peradilan (rechstpraak) yang identik dengan fungsi yudisial, dan pengawasan (politie) yang mirip dengan fungsi federatif untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Dalam perkembangannya, konsep pemisahan kekuasaan tersebut dianggap tidak realistis sehingga tidak ada satu negara pun di dunia yang betul-betul mencerminkan ide pemisahakan kekuasaan tersebut. Sebagai sandingan atas konsep pemisahan kekuasaan, para ahli menggunakan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power). Walaupun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama saja, dapat dipakai sesuai konteksnya. Sebagai contoh, Amerika Serikat menganut kedua istilah separation of powers dan distribution of powers. Istilah distribution (division) of powers digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dengan negara bagian. Sedangkan istilah separation of powers digunakan dalam konteks pemisahan kekuasaan tingkat pemerintah federal yaitu antara legislatif (Senate & House of Representative), eksekutif (Administrarion) dan yudikatif (Supreme Court). Konsep demikian merupakan hasil pemikiran Arthur Mass yang membedakan pengertian pembagian kekuasaan ke dalam dua pengertian, yaitu 1) capital division of power yang bisa diartikan sebagai pembagian kekuasaan lembaga negara, dan 2) territorial division of power yang bisa diartikan sebagai pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah.

Penerapan Pemisahan Kekuasaan Dalam Konstitusi


Pada awalnya, sistem ketatanegaraan Republik Indonesia diklaim tidak menganut pemisahan kekuasaan menurut Montesqiueu melainkan pembagian kekuasaan, sebagaimana diutarakan oleh Soepomo dalam sidang BPUPKI tahun 1945. Pada waktu itu Soepomo menolak ide Muhammad Yamin yang ingin mengadopsi sistem pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar.

Berdasarkan UUD 1945 yang diberlakukan pada 18 Agustus 1945, kekuasaan negara dibagi di antara lembaga-lembaga negara, antara lain yaitu:
1.    Kekuasaan tertinggi berada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat, yang salah satu kewenangannya adalah memilih Presiden dan Wakil Presiden.
2.   Kekuasaan membentuk undang-undang ada pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
3.      Kekuasaan eksaminasi anggaran oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
4.   Kekuasaan pemerintahan negara dijalankan oleh Presiden yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri.
5.      Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung.

Selanjutnya ketika keberlakuan Konstitusi Republik Indonesia Serikat pada 1949, tetap ada pengaturan mengenai pemisahan kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Pada pokoknya Konstitusi Republik Indonesia Serikat mengatur mengenai:
1.      Bentuk negara serikat, serta kedaulatan ada pada Raja/Ratu Belanda.
2.      Banyak mengatur perihal hak-hak dasar manusia.
3.      Adanya pemisahan kekuasaan antar lembaga negara, yaitu a) kekuasaan eksekutif (presiden dan perdana menteri), b) kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), c) kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung Indonesia). Selain itu juga ada lembaga eksaminasi anggaran negara yaitu Dewan Pengawas Keuangan.

Sedangkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 pada pokoknya mengatur mengenai hal-hal:
1.      Bentuk negara kesatuan, menghapus bentuk negara serikat, negara hukum yang demokratis.
2.      Kedaulatan ada pada rakyat Indonesia yang dilakukan secara bersama oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
3.     Banyak mengatur perihal hak-hak dasar manusia, seperti halnya dalam Konstitusi RIS 1949.
4.   Adanya pemisahan kekuasaan antar lembaga negara, yaitu a) kekuasaan eksekutif (presiden dan perdana menteri), b) kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), c) kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung), serta tetap ada lembaga eksaminasi anggaran negara yaitu Dewan Pengawas Keuangan.
5.     Pemerintah daerah dan daerah-daerah swapraja sebagai bentuk territorial division of power.
6.    Lembaga Konstituante yang bertugas untuk merancang dan kemudian menetapkan undang-undang dasar yang sifatnya tetap.


Konstitusi tertulis yang berlaku saat ini, yaitu UUD 1945 hasil amandemen/perubahan, sering dinyatakan sebagai konstitusi yang menganut doktrin pemisahan kekuasaan walaupun tidak lagi murni menurut konsep trias politica ketika pertama kali dikemukakan oleh Montsqiueu. Hal ini dapat ditunjukkan dari ciri-ciri:
1. MPR tidak lagi dinyatakan sebagai lembaga tertinggi dan lembaga pemegang kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah perubahan). Tiap-tiap lembaga negara yang pengisian jabatannya melalui pemilihan umum dapat dianggap sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat, seperti misalnya pemilihan langsung pasangan Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (1)).
2.      Fungsi kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang) kini sepenuhnya berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 20 ayat (1)).
3.   Sebagai salah satu ciri negara hukum, kekuasaan kehakiman diatur sebagai kekuasaan yang merdeka yang menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24).
4.  Adanya konsep sistem pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman (Pasal 24C UUD 1945 setelah perubahan).
5.    Penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi dan dekonsentrasi (Pasal 18) sebagai bentuk territorial division of power.
6.     Setiap lembaga negara memiliki kedudukan yang sejajar, tidak ada lagi yang disebut sebagai lembaga tertinggi negara. Sehingga hubungan antar lembaga negara bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.

2 komentar: